News
Pendidikan Perdamaian, Membangun Toleransi Sejak Mereka Masih Kanak-Kanak

(KOMPAS, NOV. 21, 2011)
Lewat layanan pesan singkat, Senin (13/9), Sekretaris Departemen Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Rachland Nashidik menuliskan, penusukan terhadap pendeta HKBP di Bekasi harus mendapatkan perhatian ekstra serius. Lebih dari sebelumnya, pemerintah dihadapkan pada kebutuhan krusial untuk melindungi kebebasan beragama dari kaum reaksioner yang memusuhinya.

Rachland mengingatkan pula, tiba saatnya pemerintah melihat pihak-pihak yang dengan berbagai cara, politik atau kriminal, menyangkal hak minoritas atas kebebasan beragama di Indonesia, adalah nyata, terorganisasi, dan makin menguat.

Keprihatinan Rachland, yang aktivis penegakan hak asasi manusia (HAM), mengingatkan lagi pentingnya menguatkan dialog antariman dan pendidikan perdamaian di negeri ini. Meski hampir setiap saat ada upaya mewujudkan toleransi antarumat beragama, tetapi harus diakui, kekerasan yang bernuansakan kurang dihargainya perbedaan itu masih terjadi di Indonesia.

Pelajaran dari Australia

Dalam soal keberagaman di bidang agama, Indonesia tak jauh berbeda dengan Australia. Dari negara tetangga ini, kita bisa juga belajar bagaimana membangun kesepahaman dari warga yang berbeda keyakinan.

Zuleyha Keskin, Vice President Affinity Intercultural Foundation, Australia, dalam The 3rd World Peace Forum, yang diadakan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDC), Muhammadiyah, dan Cheng Ho Multi Culture Education Trust, Juli lalu di Yogyakarta, sempat berbagi pengalaman dalam membangun kesepahaman antarumat beragama. Toleransi, perdamaian, dan kerja sama antarumat beragama tak bisa hanya dilakukan dengan bicara, tetapi harus dengan karya nyata. Yang penting, kesepahaman bukan produk instan, melainkan dengan langkah nyata sejak dini dan tak hanya dengan satu "anak panah". Upaya itu harus simultan dan dilakukan berbagai komponen masyarakat. Inisiatif mewujudkan kesepahaman itu juga dilakukan untuk semua level.

Selain dialog antariman yang diprakarsai masyarakat, Zuleyha menuturkan, Pemerintah Australia pun aktif membuat program yang bisa menumbuhkan toleransi, keadilan sosial, dan perdamaian. Di Australia juga ada Harmony Day.

Selain menggelar panel antariman, konferensi antarpemimpin umat (The Abraham Conference), panel antariman dari Timur (Islam, Buddha, dan Hindu), perjamuan oleh kaum wanita yang berbeda keimanan, dan dialog antariman sambil berbuka puasa, Pemerintah Australia pun memfasilitasi rumah ibadah untuk menggelar "open day". Saat "open day" itu, masjid, misalnya, menjadi terbuka untuk menerima kunjungan umat beragama lainnya. Mereka pun melakukan dialog dan membangun kebersamaan.

Affinity Intercultural Foundation, misalnya, papar Zuleyha, juga membangun kesepahamaan, toleransi, keadilan sosial, dan perdamaian itu melalui pertemuan yang dilakukan kaum muda, bahkan kanak-kanak, dari beragam agama. Youth Encounters yang dilakukan di Australia sejak tahun 2004 melibatkan tidak kurang dari 240 siswa dari sekolah yang berlatar belakang Islam, Kristen, dan Yahudi. Mereka sejak dini membangun dialog dan kebersamaan, sebagai saudara. Mereka bertemu dalam sebuah konferensi dan terus melakukan interaksi.

Rasanya kesadaran membangun kesepahaman antariman sedari dini, saat masih berusia belia, belum terdengar di negeri ini. Kalaupun ada kegiatan bersama antarsiswa dari berbagai sekolah yang berbeda, penekanannya bukan pada membangun dialog antariman sehingga pada ujungnya muncul kesepahaman, toleransi, keadilan sosial, dan perdamaian.

Rizal Sukma, intelektual Islam dalam refleksi Forum Perdamaian Dunia itu, mengakui pula, dialog antariman, toleransi, dan perdamaian tak bisa hanya dibicarakan, tetapi harus dilakukan. Indonesia juga bisa belajar dari pengalaman dan keberhasilan negara lain.

Tan Sri Lee Kim Yew, Presiden Cheng Ho Multi Culture Education Trust, menambahkan, kesadaran kita sebagai saudara, meski berbeda keyakinan, harus terus disuarakan. (tra)