Jakarta, Bhirawa
Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) KH Hasyim Muzadi menilai pembubaran Front Pembela Islam (FPI) belum tentu efektif. ''Kalau FPI dibubarkan karena dianggap anarkhis, dalam kondisi demokrasi liberal seperti sekarang belum tentu efektif,'' kata Hasyim di Jakarta, Rabu (15/2) siang. Sebab, lanjut Hasyim, atas nama kebebasan saat ini sangat mudah bagi kelompok masyarakat, termasuk FPI, membuat organisasi baru. ''Bagaimana kalau berpindah nama dengan FPU, Front Pembela Umat, misalnya, dan Habib Rizieq sebagai rais am sebagai ganti istilah ketua umum? Apa bisa dihalangi?'' ucapnya, menegaskan. Menurut mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, kebebasan yang ada saat ini merupakan konsekuensi dari demokrasi liberal yang dianut Indonesia. ''Kalau demokrasi kita yang disalahkan, bukankah sistem sekarang juga hasil konsepsi dari neolib, neokom, dan para cerdik pandai kita?'' tukasnya. Lebih lanjut Hasyim mengatakan, apabila rencana pembubaran FPI melalui perbaikan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, maka sebaiknya juga sekalian pembubaran terhadap organisasi yang menjadi kepanjangan dan kepentingan asing di Indonesia, baik yang bekerja di bidang ideologi, politik, ekonomi maupun budaya, karena orientasi asing ini yang merusak NKRI. ''Kita perlu kerja sama dengan asing untuk kepentingan Indonesia, bukan menyetorkan NKRI ke asing,'' tandasnya. Dikatakannya, organisasi pro-asing lebih pintar mengambil tema-tema kemanusiaan dan demokrasi daripada FPI yang kasar dan seringkali tidak taktis. Meski demikian, lanjut Hasyim, FPI jelas NKRI-nya, sementara organisasi transnasional dalam jangka panjang justru membahayakan Indonesia. ''Saya sarankan FPI memperbaiki kualitas perjuangannya dan menghindari kekerasan,'' ujar Hasyim. Kalaupun FPI mau meninggalkan kekerasan, kata Hasyim, tidak berarti Indonesia bebas kekerasan, karena kekerasan di Indonesia lebih banyak disebabkan karena ketidakadilan, hilangnya keteladanan, dan penyalahgunaan kekuasaan serta jahatnya kapitalisme. ''Semua akan terbuka di hadapan rakyat manakala FPI lebih pintar,'' katanya. Menanggapi aksi demonstrasi Gerakan Indonesia Tanpa Front Pembela Islam (FPI) yang diwarnai kekerasan pemukulan, Prof. Dr. Arief Rachman M.Pd., pakar pendidikan dan guru besar dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menilai bahwa bangsa Indonesia memerlukan sistem pendidikan yang menyeluruh. Hal tersebut dikatakannya dalam acara peluncuran serial buku bergambar untuk anak-anak berbahasa Inggris 'The Tale of Didgit Cobbleheart'' di Jakarta, Rabu (15/2) siang. ''Pendidikan menyeluruh atau 'inclusive education' perlu diterapkan di tanah air mengingat hati nurani masyarakat saat ini sepertinya sudah tak lagi berfungsi optimal,'' kata dia. Prof. Arief mengatakan bahwa demonstrasi Gerakan Indonesia Tanpa FPI yang terjadi Selasa (14/2) kemarin menunjukkan perlunya pendidikan menyeluruh tersebut. ''Demo kemarin bagus karena masyarakat mulai resah dengan adanya kekerasan yang dilakukan sekelompok orang dalam menjalankan misinya, itu pertanda masyarakat masih peduli terhadap sekitarnya, tapi adanya FPI juga bagus karena mereka bisa menjadi kontrol terhadap hal-hal yang selama ini dilalaikan oleh pemerintah, semua niatnya baik yaitu untuk membuat negara ini lebih maju, hanya saja caranya yang salah, oleh karenanya semua itu perlu diperbaiki dari pendidikan,'' kata dia. Menurut Prof. Arief, pendidikan menyeluruh adalah pendidikan yang tidak melulu mengedepankan prestasi akademis tetapi juga menekankan pada pentingnya kearifan hati nurani melalui pendidikan karakter.''Pendidikan menyeluruh dilakukan, salah satu caranya adalah, dengan mengajarkan perbedaan pada anak-anak, sehingga saat mereka besar nanti mereka akan bijak dalam menyikapi perbedan.'' Selain itu, Prof. Arief juga menyampaikan pentingnya seorang model panutan bagi anak-anak dalam menjalani pendidikan karakter. ''Model sangat penting bagi anak-anak, jadi nanti kita tidak menyuruh anak-anak melakukan seperti apa yang kita katakan tapi mereka akan melakukan seperti apa yang kita lakukan,'' kata Prof. Arief yang juga merupakan Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO tersebut. [ant] |