Jakarta - Berawal dari kegundahan atas semakin pudarnya upaya menanamkan budi pekerti pada anak-anak, sebuah keluarga merasa tergugah dan mencetuskan gagasan untuk kembali menanamkan karakter luhur pada peserta didik dengan cara yang menghibur.
Adalah keluarga Muljanto yang merasa terpanggil untuk menerbitkan buku serial bergambar yang mengemas pengajaran budi pekerti dalam format edutainment (entertainment-education). Lewat perusahaan keluarga, PT Panen Citra Kreasi Perkasa, yang mengusung perusahaan penerbitan Lily & Eddy, keluarga Muljanto menciptakan karakter Didgit Cobbleheart, karakter buatan asli Indonesia yang terinspirasi dari karakter-karakter manusia zaman gua, zaman yang mewakili pengajaran-pengajaran dari masa lalu atau sejarah yang kini makin sering terlupakan. Pemilihan karakter itu tentu bukan tanpa alasan, karena buku serial bergambar yang merupakan produk perdana perusahaan itu, memang didedikasikan bagi kelompok Guru-Orang tua-Anak (GOA) baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Menurut Helena Muljanto, Direktur Lily & Eddy, Peran guru dan orang tua dalam mendidik anak semestinya seimbang. Guru dan orang tua murid memiliki tanggung jawab yang sama dalam menanamkan budi pekerti di samping mengasah kepintaran sang anak. "Yang selama ini terjadi adalah orang tua sering kali menyerahkan seluruh persoalan pendidikan anak kepada guru di sekolah. Padahal, anak akan lebih banyak berada bersama keluarganya di rumah. Karenanya, kami berusaha menciptakan materi-materi edutainment yang mudah digunakan, menyenangkan, menarik hati dan khusus diciptakan bagi anak-anak, para orang tua dan pendidik serta semua orang yang peduli terhadap pengajaran nilai-nilai budipekerti," ujar Helena. Upaya orang tua yang berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka sebagai anak terpintar sambil mengesampingkan penanaman budi pekerti juga meresahkan. Menurut Helena, seharusnya sedini mungkin anak diajar tentang nilai-nilai yang baik, sehingga nantinya tidak tumbuh menjadi anak tanpa karakter. "Jangan lagi kita dinilai sebagai bangsa yang tanpa budaya, bodoh, dan korup hanya karena anak-anak kita tumbuh tanpa hati, meskipun memiliki kecerdasan yang tinggi. Sebenarnya bangsa kita sejak dulu memiliki keunggulan dalam hal pemikiran. Lewat upaya kecil yang kami rintis ini, kami ingin merasa bangga kembali dengan jati diri kita sebagai bangsa yang memiliki karakter," ia menambahkan. Buku Serial Buku serial Didgit Cobbleheart bisa jadi merupakan buku serial berbahasa inggris pertama dari Indonesia yang memiliki standar internasional. Sejak diperkenalkan dipenghujung 2011 lewat serangkaian roadshow disejumlah sekolah dan institusi, beragam dukungan pun bermunculan. Tak kurang dari 3.200 anak dari 40 lebih sekolah dan institusi di Jabodetabek telah menjajal metode pengajaran yang disajikan Lily & Eddy tersebut. Bukan hanya itu, situs www.didgitcobbleheart.com atau www.bukubudipekerti.com yang memang dirancang khusus untuk mendukung buku-buku serial tersebut, hingga kini telah dikunjungi lebih dari 6.000 orang, dengan jumlah keanggotaan mencapai lebih dari 1.000 orang. Tak hanya di dalam negeri, situs itu juga berhasil menarik keanggotaan dari mancanegara seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, Hongkong, Singapura, dan Kanada. "Materi-materi pengajaran kami banyak di-download para pengunjung dari luar negeri. Mereka juga membeli produk-produk yang kami buat. Kami bahkan sempat membawakan ratusan buku serial ini ke Singapura karena minat mereka yang tinggi terhadap buku ini," kata Helena. Lily & Eddy telah menyiapkan enam judul Didgit Cobbleheart, namun hingga kini baru dua judul yang telah diterbitkan. Nantinya, selain Didgit Cobbleheart, perusahaan penerbitan itu juga bakal menciptakan karakter lain dengan target pembaca yang berbeda. Buku serial dan peranti pendukung tersebut memang diciptakan untuk mengajak komunitas GOA dan semua pihak yang prihatin terhadap kondisi budi pekerti dan pengajarannya saling berbagi, bertukar cerita, dan tips mengenai pengajaran budi pekerti. "Mari kita ciptakan sebuah gerakan nasional budi pekerti. Kami memeloporinya dengan menyediakan sarana-sarananya seperti website dan sebuah program gerakan akhlak mulia serta kepedulian yang kami namakan Dignified and Caring Ambassador Movement," tutur Helena. (PR/Ayu) |