JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Maarif Institute, Fajar Riza UI Haq mengatakan, menguatnya intoleransi, eksklusifitas, psikologi keterancaman, dan kekerasan di kalangan pelajar merupakan salah satu fenomena yang memprihatinkan dalam dunia pendidikan. Hal itu dikatakannya dalam peluncuran program pendidikan karakter yang digagas Maarif Institute bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Senin (15/8/2011), di Jakarta. Program tersebut sengaja diluncurkan sebagai upaya untuk membendung arus intoleransi, eksklusivisme, dan kekerasan.
Fajar mengungkapkan, salah satu cerminnya adalah aksi kekerasan yang masih terjadi di kalangan pelajar, baik tawuran mau pun bullying yang terjadi di sekolah. Selain itu, menurutnya, kekerasan juga sering dimanifestasikan melalui cara pandang intoleran, menolak perbedaan, melegalkan tindak kekerasan hingga menolak nasionalisme seperti hormat kepada bendera, dan Pancasila berdasarkan pemahaman keagamaan tertentu di kalangan pelajar sekolah tingkat SMA. Ia menilai, fenomena ini menggusur semangat dan budaya kewarganegaraan yang menjadi elemen vital dalam dunia pendidikan. Fajar menambahkan, tergerusnya budaya kewarganegaraan di institusi pendidikan telah berdampak serius terhadap pembentukan karakter kebangsaan para peserta didik. "Perlu ada upaya advokasi sistemik dan berjangka panjang untuk memulihkan kembali budaya kewarganegaraan di sekolah. Tidak perlu reaktif," kata Fajar. Fajar juga mengungkapkan, merebaknya fenomena kontra produktif di lingkungan sekolah tersebut seyogianya menjadi peringatan semua pihak. Menurutnya, hal itu tidak hanya mengingkari cita-cita dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana diatur dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003, namun juga akan mengancam masa depan semangat kebangsaan. "Latar belakang kondisi itulah yang mendorong kami untuk pro memfasilitasi pendidikan karakter yang sedang digaungkan oleh pemerintah. Tujuan utama program ini adalah untuk memperkuat orientasi pendidikan karakter dengan merawat budaya kewarganegaraan di lingkungan sekolah yang selama ini terkikis oleh meningkatnya intoleransi, individualisme. Eksklusivisme, dan budaya kekerasan di kalangan pelajar," paparnya. Secara resmi, Program Pendidikan Karakter yang diluncurkan ini masih bersifat uji coba. Rencananya, program ini akan mencakup 50 SMAN di empat daerah, yaitu Kabupaten Pandeglang (Banten), Kabupaten Cianjur (Jawa Barat), Kota Yogyakarta (DIY), dan Kota Surakarta (Jawa Tengah). Sepanjang Juli 2011, Maarif Institute telah melakukan riset dan need assessment di empat daerah tersebut terkait relevansi dan kebutuhan program. Berdasarkan hasil riset tersebut, diketahui jika penyampaian materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama Islam (PAI) tidak efektif untuk menanamkan karakter kebangsaan di kalangan pelajar. Lebih dari 70 persen guru merasa PKn dan PAI belum berkontribusi terhadap nilai-nilai pendidikan karakter. Dalam banyak kasus, tidak efektifnya penanaman ideologi negara dan karakter kebangsaan oleh lembaga pendidikan umum negeri telah dimanfaatkan, bahkan disalahgunakan oleh sebagian oknum tertentu yang tidak sejalan dengan semangat kebangsaan dan budaya kewarganegaraan. "Dalam menyikapi masalah ini, kami berharap program yang akan berjalan sampai Mei 2012 ini akan mendorong penguatan nilai-nilai kebangsaan yang memberikan lahan subur bagi tumbuhnya sikap-sikap toleran, terbuka dan menolak kekerasan," ujar Fajar. |