News
Kuncinya, Guru Digugu Dan Ditiru...

(KOMPAS, 23 MEI 2011)


PADANG,
KOMPAS.com
— Sosiolog dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Silfia
Hanani, mengatakan, dalam pengembangan pendidikan berkarakter, yang terpenting
diperlukan adalah keteladanan. Kemampuan guru menjadi teladan, menjabarkan
eksistensi manusia yang baik kepada peserta didik.



Dosen
Pascasarjana Sosiologi di Universitas Andalas ini menambahkan, tenaga
pengajar/guru yang menangani pendidikan karakter tidak mesti harus dilatih
khusus, karena kalau dilatih akan berbicara teori lagi. Namun, sebaiknya guru
dalam pendidikan karakter diambil dari orang-orang yang telah teruji mampu
menjabarkan nilai-nilai. Terkait itu, guru harus memanfaatkan kearifan lokal
dalam bentuk-bentuk terpuji dan mengangkat tokoh-tokoh yang bisa dicontoh.



"Kearifannya
yang kita gali supaya bisa ditularkan kepada anak didik," katanya.



Silfia
mencontohkan, baju datuk di Minang berwarna hitam ada alasannya, begitu juga
dengan jahitannya yang lurus dan tidak bersaku (kantong). Menurut dia, makna
itu semua yang disebut kearifan lokal dan bukan berarti mempraktikkan ke semua.



"Jahit lurus
artinya adil dalam bertindak, bagaimana harus adil? Kemudian tidak berkantong,
karena nilai filosofisnya dilarang menerima sogokan, sedangkan celana lebar
agar cepat bersikap. Seorang datuk harus cepat bersikap karena masyarakat
membutuhkan kepastian," papar Silfia.



Karena itu,
lanjut dia, guru harus sudah teruji mampu memaknai nilai-nilai dalam kearifan
lokal daerah. Sebab, jika diambil dari tamatan akademik, kenyataannya lebih
dominan teori, sedangkan dalam pendidikan karakter, nilai-nilai dan contoh
dalam perilaku dan sikaplah yang dibutuhkan.



"Guru-guru
yang diambil perlu mempertimbangkan orang lokal atau daerah setempat yang bisa
menjelaskan nilai-nilai dan bisa menjadi figur. Bahkan, kalau perlu, orang yang
paham adat budaya di daerah itu," kata Silfia.



Ia mengatakan,
saat ini hidup masyarakat berada di tengah keterpaksaan, bukan di tengah
kesadaran.
Ibarat melintasi
lampu lalu lintas di jalan raya, kata Silfia, orang takut bukan karena patuh,
melainkan takut karena polisi. Jika polisi tidak berada di perempatan jalan,
orang kebanyakan tetap melaju meskipun lampu merah. Padahal, mestinya mereka
sadar lampu lalu lintas untuk keselamatan dan keteraturan.



"Nilai-nilai
harus diamalkan dengan kesadaran, bukan karena keterpaksaan.
Inilah yang penting dibangun dalam
pendidikan karakter," katanya.



 



Link:



http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/23/14195890/Kuncinya.Guru.Digugu.dan.Ditiru.